الْمَأْمُوْرُ بِهِ أَعْظَمُ مِنَ الْمَنْهِيِّ عَنْه
“Perintah lebih besar daripada larangan”
(Kaidah Fiqh No. 55)
Ini dijelaskan dan diterangkan panjang lebar oleh Imam Ibnu Taimiyah :
Kaidah yang menjelaskan bahwa perhatian syariat terhadap perkara yang diperintahkan lebih besar dan lebih kuat daripada perhatiannya terhadap perkara yang dilarang. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah :
“Sesungguhnya jenis mengerjakan perintah itu lebih besar daripada jenis meninggalkan larangan. Dan jenis meninggalkan perintah lebih besar daripada jenis mengerjakan larangan. Dan sesungguhnya pahala bani Adam karena mengerjakan kewajiban lebih besar daripada pahala yang diraihnya karena meninggalkan perkara yang haram. Dan dosa meninggalkan perintah lebih besar daripada dosa mengerjakan larangan.”
Karena perintah lebih besar daripada larangan, baik ditinjau dari banyaknya tarjih dan ikhtiar ikhtiar Fiqh, baik dari jenisnya, sisi pahalanya, maupun sisi dosanya, menunjukkan bahwa perhatian syariat terhadap perkara yang diperintahkan lebih besar daripada perhatiannya terhadap perkara yang dilarang.
Kaidah diatas, diperkuat dengan kaidah kaidah Fiqh lainnya, semisal :
1.
اْلأُمُوْرُ الْمَنْهِيُّ عَنْهَا يُعْفَى فِيْهَا عَنِ النَّاسِي وَالْمُخْطِئِ
Perkara-perkara yang terlarang, pelakunya dimaafkan jika dilakukan oleh orang yang lupa atau tersalah
2.
مَا كَانَ مَنْهِيًّا عَنْهُ لِلذَّرِيْعَةِ فَإِنَّهُ يُفْعَلُ لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ
Perkara yang dilarang dalam rangka preventif boleh dikerjakan saat ada maslahat yang lebih kuat.
Kaidah kaidah diatas, datang dari Istidlal dan pendalilan puluhan dalil, yang mendasarinya, beberapa yang paling kuat mendukung kaidah fiqh diatas, saya lampirkan berikut ini :
1.
Sesungguhnya perbuatan maksiat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang pertama kali adalah dilakukan oleh nenek moyang jin (iblis) dan nenek moyang manusia (Adam). Dalam hal ini, kemaksiatan yang dilakukan oleh iblis lebih awal dan lebih besar. Kemaksiatan tersebut berupa penolakan iblis dari melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla berupa sujud kepada Adam. Ini termasuk kategori meninggalkan perintah. Adapun yang dilakukan oleh Adam, yaitu memakan dari pohon di surga. Ini termasuk kategori mengerjakan larangan. Dari dua jenis tersebut, ternyata kadar dosa Adam lebih ringan. Dari sini dapat diketahui bahwa jenis meninggalkan perintah itu lebih besar daripada jenis mengerjakan larangan.
Bentuk pelanggaran yang dilakukan iblis tersebut ternyata berupa dosa besar sekaligus kekufuran yang tidak diampuni. Sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh Adam berupa kesalahan yang lebih ringan dan diberikan ampunan darinya. Sebagaimana firman-Nya.
فَتَلَقَّىٰ آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allâh menerima taubatnya. Sesungguhnya Allâh Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Al Baqarah:37)
2.
Lima rukun Islam merupakan amalan-amalan yang masuk kategori perkara yang diperintahkan. Apabila seseorang meninggalkannya maka banyak dari kalangan Ulama yang mewajibkan hukuman bunuh bagi pelakunya. Bahkan adakalanya dihukumi sebagai seorang yang kafir, keluar dari agama Islam.
Di antaranya, apabila seseorang tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat padahal ia mampu mengucapkannya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah , “Adapun dua kalimat syahadat, apabila seseorang tidak mengucapkannya padahal ia mampu, maka ia adalah orang kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.” (Majmu’ al-Fatawa, 7/609). (Lihat at-Takfir wa Dhawabithuhu, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, Dar al-Imam Ahmad, hlm. 229).
_
Tanya :
Bukankah kaidah Fiqh ini sudah sangat kuat.
Datang dari ikhtiar ikhtiar Fiqh, istidlal dan pendalilan dari puluhan Dalil, berkorelasi dengan kaidah kaidah Fiqh lain, dan resmi di fatwakan oleh Imam Imam Ulama di level Imam Ibnu Taimiyah, diabadikan juga didalam Majmu Fatwa Syaikh Ibrahim Ar Ruhaily?
Jawab :
Tidak ada yang salah dari kaidah Fiqh ini. Bagi yang belajar Fiqh tentu tau persis bahwa kaidah kaidah Fiqh adalah “rumus” dalam memahami (permasalahan halal haram) agama ini. Kaidah, rumus, dalil, istidlal, ikhtiar ikhtiar, metode disini Insya Allah benar semua.
Adapun yang salah adalah apabila mengakali Dalil, mengakali Kaidah Fiqh. Bagi yang belajar Fiqh tentu tau persis bahwa Dalil, Ayat, Hadits, Kaidah, Fatwa, tidak boleh diakali untuk menjadikan yang Haram seakan Halal, dimana yang berhak menentukan Halal Haram adalah Allah saja. Termasuk mengakali seolah ada haram yang baik, dan haram yang buruk, haram ini lebih baik dari pada haram yang itu, padahal keduanya adalah haram.
Adapun yang salah adalah apabila memahami bahwa tidak apa apa melanggar larangan asalkan tetap melaksanakan perintah, asal tidak menolak perintah.
Jika dilihat dengan hati yang bersih, kaidah Fiqh “Menolak perintah lebih berat daripada melanggar larangan”, pemahamannya jika larangan disini dilakukan karena lupa atau tersalah (terpaksa), bukan sengaja melanggar.
Jika dilihat dengan hati yang bersih, kaidah Fiqh “Menolak perintah lebih berat daripada melanggar larangan”, pemahamanannya dari pelaksanaan dan pengimanan terhadap Rukun Iman, konteks subjek pelaku disini berarti Manusia (dan Jin Muslim), bukan untuk diperbandingkan dengan dosa Iblis yang memang tidak mengenal, memahami, dan menjalankan rukun Islam.
Jika dilihat dengan hati yang bersih, kaidah Fiqh “Menolak perintah lebih berat daripada melanggar larangan”, pemahamannya adalah karena Adam bertaubat atas kesalahannya (Baca : tetapi ingat Adam tetap dihukum atas kesalahan melanggar larangan), sedangkan dosa Iblis dan hukuman yang lebih berat disini karena Iblis tidak menyesali dan tidak bertaubat atas dosanya. Bukan karena dosa menolak itu lebih besar, dibanding dosa melanggar larangan semata.
__
Adapun yang salah adalah apabila memahami, yang penting shalat, puasa, ibadah, sedangkan masih berdosa melakukan larangan, riba, khamr, zina, dll. Secara sadar, sengaja dan tidak bertaubat atasnya. Sedangkan konteks kaidah Fiqh diatas sekali lagi apabila terlupa, tersalah, terpaksa, dan pelaku disini bertaubat.
Adapun, seseorang yang melakukan perintah, shalat, puasa dll, dan masih melanggar berbuat dosa, riba, khamr, zina dll, secara sadar, sengaja, dan tidak bertaubat, SAMA SAJA dengan seseorang yang tidak melakukan perintah, shalat, puasa dll, namun berbuat baik, tidak melanggar larangan, tidak riba, tidak khamr, tidak zina dll.
Adapun yang salah adalah apabila memahami kaidah Fiqh diatas, dijadikan pembenaran, mengakali, bahwa tidak apa apa selama yang penting selama masih menjalankan perintah, shalat, puasa dll, dan tidak apa apa masih melanggar larangan, karena menganggap ringannya dosa melanggar larangan Allah.
_
Jika kita, belum memahami maksud kaidah Fiqh yang terang benderang dijelaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibrahim Ruhaily, dan Alim Ulama lainnya, semoga penjelasan singkat ini menjadikan kita semakin paham.
Jika kita, salah memahami, keliru mengerti, atau mengakali akali halal dan haram, memilih haram yang satu lebih kecil dari haram yang lainnya, karena bersandar dari Kaidah Fiqh yang keliru dipahami, sadar, tidak terlupa, tidak terpaksa, maka bertaubatlah, dan kembalilah kepada pemahaman Kaidah Fiqh yang benar, sebagaimana dimaksud, diajarkan, dituntunkan, dijelaskan, oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, Para Sahabat, Para Alim Ulama, Imam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibrahim Ruhaily, dan guru guru kita yang tsiqoh lainya.
Jika kita memahami ilmu (Agama) ini dari mereka, dari bimbingan mereka, penjelasan langsung mereka para narasumber ilmu yang tsiqoh dan bersanad, Insya Allah kita selamat. Dimana semakin paham kita bahwa sebagian saudara kita kaum muslimin yang salah memahami ilmu (Agama) ini, sebagian besarnya karena memahaminya dari pemahaman sendiri, tanpa guru, tanpa sumber sumber ilmu yang bersanad, yang membimbingnya.
Semoga kita, atau saudara saudara kita yang demikian, bertaubat, dan dimudahkan mendapati pemahaman ilmu (Agama) yang haq, tepat, presisi, dan lurus.
Menolak memakai underwear, dan melanggar aturan melepas underwear, sama-sama terlihat kemaluannya.
..Wallahu a’lam..