...

Uang Palsu

Artikel - 8 months ago - Tag : Artikel
Author : Abdullah Abdurrahman

Ternyata, hasil setelah menjadi ustadz palsu, ulama palsu, dokter palsu, hasil kurikulum palsu adalah “uang palsu”. Mungkin uangnya asli keluaran Bank Indonesia ada nomor registrasinya, ada nominalnya di rekening bank mereka, tetapi dibalik itu uangnya ternyata palsu.

 

Ternyata, uang yang mereka hasilkan dari “menipu” hasil ijazah “palsu”, ustadz palsu, ulama palsu, dokter palsu, guru palsu, hasil kurikulum palsu, adalah uang palsu.

 

Sudah pasti, hasil yang didapat dari ikhtiar yang demikian bukanlah rizki yang halal, melainkan dianggap mereka sebagai rezeki padahal bukan, padahal haram.

 

************************

 

Pada zaman modern saat ini, kita tahu bahwa uang (kertas / digital) yang kita miliki ternyata adalah palsu, bukan harta (asset), melainkan hutang (liability). Uang kertas / digital yang kita miliki sekarang adalah nota (perjanjian) hutang, dan tentunya berbunga (riba), itulah kenapa nilai dari uang yang kita miliki terus merosot dan berkurang.

 

Pada awalnya alat tukar adalah dinar dan dirham (emas dan perak) uang nilainya tetap, namun segelintir kaum menukarnya dengan uang kertas. Pada awalnya setiap uang kertas adalah jaminan dari emas atau perak yang disederhanakan dalam bentuk kertas (agar praktis mudah dibawa kemana mana), namun pada perkembangannya, uang kertas tidak lagi dicetak karena pertukaran dengan jaminan emas atau perak, melainkan uang kertas dicetak sebagai jaminan hutang. 

 

Para elite, kaum yang segelintir itu, yang ingin mengatur tatanan dunia, mengatur kedaulatan negara, dimana mereka pula yang mengatur kurikulum “palsu”, mereka membuat perbudakan modern, industrialisasi, dan termasuk perputaran uang, kemudian bank, lewat para bankir, mereka mencetak uang untuk jaminan hutang. 

 

Jika negara butuh uang, mereka berhutang kepada bank, kemudian bank tinggal mencetak uang, tanpa “modal”, dan mengambil keuntungan atas hutang tentu beserta bunganya.

 

Jika rakyat butuh uang, mereka berhutang kepada bank, kemudian bank tinggal mencetak uang, tanpa “modal”, dan mengambil keuntungan atas hutang tentu beserta bunganya.

 

Dibuatlah sebuah konspirasi yang kemudian peraturan bahkan perundangan dan legal dimana sangat wajar negara tidak bisa mencetak uang, dimana jika mau mencetak uang, mereka harus berhutang kepada bank, yang tentunya berbunga. Diberikannya hak mencetak uang kepada segelintir kaum ini, pihak swasta, dalam hal ini Bank Sentral, kalau di Indonesia Bank Indonesia, FYI : mungkin banyak yang belum tahu bahwa Bank Indonesia bukanlah milik negara, melainkan milik swasta, yang menjadi perpanjangan tangan mereka, perpanjangan Bank Sentral, dalam mengatur perputaran uang di Indonesia.

 

Uang yang semula tidak ada, misal kemudian dicetak 1000T, dengan bunga 500M, maka untuk membayar 500M ini kemudian harus berhutang lagi, begitulah seterusnya sehingga terbentuk lingkaran setan dimana uang yang beredar, uang yang ada di saku kita bukan lagi harta (aset) melainkan hutang (liability). Melahirkan hutang yang tidak bisa dibayar dan untuk menutupinya kita terus harus berhutang lagi, dan begitu seterusnya.

 

Uang kertas / digital yang dicetak tidak dijamin emas, melainkan dijaminkan dengan hutang, dan dicetak terus menerus, menjadikan nilai uang itu terus menurun dan merosot. Dimana dahulu Rp1000 bisa membeli seekor ayam, kini seekor ayam senilai dengan Rp45.000. Uang kertas yang kita miliki besar angkanya, namun kecil nilainya.

 

Uang kertas / digital yang kita miliki di saku kita, rekening bank kita, dari hasil kita belajar di kurikulum yang palsu, hasil kita bekerja menjadi budak mereka bukanlah harta, melainkan hutang kepada mereka dan tentunya dengan bunga.

 

Utang Indonesia per Agustus 2024 yang tembus di Rp8500.000.000.000.000 (8500T) jika dibagi misal penduduk Indonesia sebanyak 285.000.000 penduduk, maka masing masing menanggung hutang = 29.000.000 (29juta Rupiah). Dimana jika kita misal 1 KK terdiri dari suami istri dan 2 anak, maka setiap 1 keluarga kita menanggung hutang 100juta lebih, tanpa kita pernah meminjam, tanpa pernah menikmati, dan tentunya belum dengan bunga.

 

Hutang ini tetap harus dibayar, mungkin bukan dengan cara mengambil dari rekening kita, melainkan dari nilai uang yang terus menurun, uang yang kita miliki menurun terus nilainya, tidak lagi ada artinya.

 

************************

 

Ini adalah ilustrasi sederhana betapa bahayanya sesuatu yang dihasilkan dari kepalsuan, dari kurikulum palsu, pendidikan palsu, ijazah palsu, yang melahirkan orang orang palsu, politisi palsu, bankir palsu, ustadz palsu, ulama palsu, dokter palsu, pekerjaan palsu (perbudakan) yang hasilnya bukan uang asli (harta) melainkan uang palsu, hutang (liability). Dimana kita merasa apa yang dihasilkan tersebut adalah rezeki halal, uang halal, uang asli, padahal dari hasil muamalah yang demikian ini bukanlah rizki halal, bukanlah kekayaan halal, bukan uang halal, melainkan uang palsu, hutang (liability) dan tentunya berbunga.

 

 

..Wallahu a’lam..