...

Salah Didik

Artikel - 1 year ago - Tag : Artikel
Author : Abdullah Abdurrahman

Hanya sedikit yang menyadari dan mengetahui jawaban kenapa mungkin banyak orang orang pintar namun dia tidak cerdas. Tentunya hal tersebut disebabkan oleh sistem pendidikan yang menjadi indikator pendidikan, yang menjadi tolok ukur sesorang pintar atau tidak pintar (namun tidak cerdas).

Hanya sedikit yang menyadari, dan mengetahui, bahwa kita salah kiblat pendidikan, bahwa ada yang salah dari metode pendidikan yang kita jalani selama ini, yang menjadi sarana memintarkan kita, yang jadi indikator kepintaran seseorang (namun tidak cerdas).

Sebaliknya sebagian besar dari mereka merasa, justru kalau menempuh sistem dan metode pendidikan yang ada, dan lulus, maka pintar.



Padahal, bukan sekedar memintarkan, mencerdaskan bangsa (walau mungkin definisi cerdas disini sedikit ada distorsi), adalah hak sebagai warga negara, dan tanggung jawab negara. Padahal hak setiap orang, dan kewajiban negara. 

Anehnya, disini akar masalah kekeliruan dasarnya yaitu untuk bisa berpendidikan kita harus membayar, bukan dibayari negara.

Anehnya, ketika kita yang membayar namun negara yang mengatur kurikulumnya, mengatur metodenya, indikatornya, standarnya pintar tidak pintarnya.



Kalau pendidikan itu kewajiban negara, kenapa siswa yang membayar? Kalau pendidikan itu untuk siswa, kenapa negara yang mengatur standar pendidikan? 

Kalau masih bingung, sebagai contoh dibeberapa Negara lain, kalau pendidikan itu untuk negara, maka kewajiban negara untuk membiayai dan memintarkan rakyatnya, atau kalau untuk kepentingan pribadi, maka masing masing membayar sendiri, bebas memilih pendidikan, pelatihan, pengembangan bakat, dll, negara tidak mengatur sistemnya, indikatornya, metodenya, metodologinya, tidak dipukul rata, negara tidak membiayai tetapi tidak pula mengatur kurikulumnya.

Analogi sederhana, jika kita membayar ketika makan di sebuah restoran, maka apa makanan yang mau kita makan, terserah kita. Adapun kita ditraktir, maka kita tinggal makan apa yang dimeja. Analogi sederhana ini tidak kita dapati di dunia pendidikan, dimana siswa / rakyat yang membayar, namun negara yang mengatur. Kita datang ke restoran kita yang membayar, tetapi apa yang kita makan, diatur pihak lain.



Disclaimer : Kaum Muslimin, terlebih pemahaman salafush shalih tidak mengenal pembangkangan terhadap pemerintah / negara, namun disini pada konteks membahas kekeliruan pada sistem pendidikan yang menjadi asal muasal lahirnya orang orang “pintar” tetapi tidak cerdas.



Untuk dianggap berpendidikan, kita membayar sendiri, namun kurikulum pendidikan “dipaksakan” diatur oleh pihak lain, untuk dianggap pintar, kita diatur, dicetak, didoktrin, diset dengan metode pendidikan tertentu.

Kita “dipaksa” belajar Bahasa Inggris kenapa tidak Bahasa Arab, kita “dipaksa” belajar “sejarah” padahal informasi sejarahnya belum tentu demikian adanya,  kita “dipaksa” belajar ekonomi, kenapa tidak ilmu pengembangan diri. Kita dipaksa, dicekoki, dengan doktrinasi pada kurikulum pendidikan yang telah diatur, agar bisa dianggap “pintar”, agar lulus, sarjana, standar untuk bisa masuk dunia kerja, untuk menuju kesuatu arah yang telah ditentukan. 

Kurikulum pendidikan yang ada didapati tumpang tindih, beberapa tidak perlu, tidak relevan, tidak ideal, kontradiktif, ironi, dan memiliki banyak paradox. 



Bagaimana hasil kurikulum pendidikan yang ada seseorang kemudian yang lulus, pintar, bergelar, dan sukses masuk kerja, dengan upah “UMR” (diupahi kecuali sedikit, sekedar cukup biaya hidup, tidak sesuai, tidak bisa kaya)

Bagaimana hasil kurikulum pendidikan yang ada, seseorang kemudian lulus, pintar, memilki gelar, tetapi jadi budak untuk orang lain.

Bagaimana, dokter, guru, pendidik, sarjana hukum, sarjana teknik, sarjana ekonomi, lulus, pintar, bergelar, namun ilmu yang dimilikinya tidak bisa menjadikannya kaya, akhirnya ilmu tersebut dipakai untuk malpraktek, menipu orang lain, mengakali orang lain, merugikan orang lain, demi sekedar mendapat uang.

Kelas 1,2,3 kita diajarkan eksakta, bukan etika. Ketika sekolah kita diajarkan baca tulis, hitung hitungan, matematika, probabilitas, excel, word, ppt, agar memiliki skill standar untuk menjadi budak di perbudakan modern. 

Pada tingkat SMP dan SMA dipaksa untuk mempelajari matematika, statistika, dan probabilitas, walau mungkin mereka tidak suka, namun harus suka, karena itu standar agar bisa kuliah ditempat yang baik, yang memungkinkan lulus, bisa mudah cari kerja.

Karena sistem pendidikan yang ada bukan untuk memintarkan, apalagi mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan agar mudah cari kerja. 

Karena, pendidikan yang ditempuh untuk menjadikan kita pintar memiliki skill yang diatur, untuk kepentingan orang lain / pihak lain, namun bukan kepintaran yang dibutuhkannya, bukan passionnya, bukan ilmu yang bermanfaat outputnya maslahat, namun sekedar syarat masuk didalam matriks perbudakan modern (berkiblat kepada kapitalis, industrialis).

Dimana tragisnya setelah lulus pendidikan dari universitas dan dari jurusan yang dipelajari, 80% diantaranya bekerja tidak pada bidang yang dipelajarinya (success rate 20% / rasio sukses 2/10).

Inilah salah satu sebab, akar masalah, kenapa ada banyak orang orang berpendidikan, pintar, namun dia tidak cerdas.

Diluar, hidayah memang hanya milik Allah.



Pada kesempatan selanjutnya, akan dibahas bahwa sistem pendidikan apa, kurikulum pendidikan apa, metode dan indikator apa yang sebenarnya penting dipabami dan perlu dipelajari, selain kurikulum yang mengarahkan kita kepada standar “kepintaran” yang menjadi tiket sebagai budak, bagi orang lain.

..Wallahu a’lam..