Setelah kita pelajari pada bahasan sebelumnya tentang pertanyaan bid’ah, kini kita pertebal kembali pemahaman perihal pertanyaan yang bid’ah atau pertanyaan yang haram.
Setelah kita pelajari bahwa bukan jawaban saja yang bisa salah, melainkan pertanyaan-pun juga ada yang bisa salah.
Pertanyaan yang bid’ah, adalah pertanyaan (dalam rangka agama) yang baru yang tidak pernah ada sebelumnya, pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan oleh Para Sahabat, karena kalau pertanyaan itu benar, maka tentulah Para Sahabat sudah menanyakannya kepada Nabi shallallahu alaihi wassalam, adapun Para Sahabat tidak pernah bertanya mengenai hal ini, maka pertanyaan tersebut pastilah salah, maka pertanyaan tersebut pastilah baru, pertanyaan yang bid’ah, pertanyaan yang haram.
Pertanyaan yang haram adalah pertanyaan yang mempertanyakan tentang syariat agama ini setelah jelas, lengkap, sempurna dan terang benderang disampaikan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Pertanyaan semacam ini tidak pernah ditanyakan oleh Para Sahabat, Para Sahabat belajar tentang syariat agama ini dan sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami taat), tanpa pernah mempertanyakan syariat agama ini.
Para Sahabat yang dijamin oleh Surga, paham betul bahwa agama ini datang dari mana, dan sudah lengkap dijelaskan oleh utusannya, maka Para Sahabat tidak lagi mempertanyakan apapun.
Jika manusia yang menjelaskan, jika guru yang mengajarkan, jika bos yang menyampaikan, jika teman yang memberi tau, mungkin saja tidak jelas, mungkin saja lupa, mungkin saja salah, silahkan saja bertanya. Adapun datang dari Allah, dan jelas disampaikan oleh utusannya maka pastilah lengkap, jelas, dan tidak perlu lagi mempertanyakannya (baca : haram).
-Kenapa melempar jumroh?
-Kenapa memutari ka’bah?
-Kenapa puasa ramadhan?
-Kenapa mencium hajar aswad?
-Kenapa safar, shalat di qashar?
-Kenapa shalat subuh 2 rakaat?
-Bagaimana bentuk wajah Allah?
-Bagaimana tangan / kaki Allah?
-Kenapa Allah di Arsy, tidak di bumi, dll.
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak pernah ditanyakan oleh Para Sahabat. Melainkan Sami’na wa atho’na.
Maka dipahami bahwa, mempertanyakan perihal agama, dimana pertanyaan itu tidak pernah ditanyakan oleh Para Sahabat, maka pertanyaan itu pastilah salah, pertanyaan itu pastilah bid’ah, pertanyaan itu pastilah haram.
Maka dipahami bahwa, jika mau mempertanyakan perihal agama, lihat apa, bagaimana, dan cara Para Sahabat bertanya.
Bagaimana cara aku masuk Islam ya Rasul; yang seperti apa golongan yang selamat itu yaa Rasul; Apa riba itu yaa Rasul; bagaimana cara mati syahid yaa Rasul; apa yang harus ku panjatkan agar istiqomah yaa Rasul; dst. Inilah cara bertanya yang benar, cara bertanya yang halal. Adapun pertanyaan pertanyaan diluar ini, atau pertanyaan yang mempertanyakan syariat ini, maka ini seakan menganggap agama ini belum lengkap, kurang, perlu dikoreksi, ini tentu perendahan terhadap Agama Allah dan utusannya, maka yang seperti demikian ini adalah haram. Hati-hati dalam bertanya perihal agama ini.
********
Sejak sekitar seratus tahun masa sahabat, seratus tahun masa tabi’in, seratus tahun masa tabi’ut tabi’in, tidak pernah ada didapati pertanyaan yang haram, tidak pernah ada didapati pertanyaan yang bid’ah, keluar dari mulut Kaum Muslimin.
Adapun pertama-tama yang melontarkan pertanyaan bid’ah adalah salah seorang alim (orang cerdas) yang duduk di kajian ilmu Imam Malik, guru dari Imam Syafi’i.
Orang ini yang pertama-tama membuat gempar, Kaum Muslimin kala itu, dimana pertanyaan semacam ini tidak pernah ada sejak zaman sahabat hingga 300-an tahun kemudian.
Orang ini bertanya, “Bagaimana cara Allah beristiwa di atas Arsy?” pertanyaan ini membuat gempar seisi majelis ilmu Imam Malik, karena pertanyaan seperti ini sangatlah asing ditelinga Kaum Muslimin kala itu, karena sahabatpun tidak pernah mempertanyakan hal semacam ini.
Imam Malik yang kala itu kaget, tidak percaya, tidak menyangka, gusar, kalut, berkeringat sebesar biji jagung, karena beliau memang tidak memiliki jawaban atas pertanyaan model baru semacam ini.
Lalu Allah beri kemudahan beliau Imam Malik untuk menjawab, walaupun beliau tidak pernah tau bagaimana menjawab pertanyaan yang selama tiga ratus tahun tidak pernah ada.
Lalu beliau jawab dengan jawaban yang sangat mencengangkan, mahsyur dikenali oleh seluruh kaum muslimin, dimana jawaban beliau ini tidak dikritik, dibantah oleh Ulama Ulama lain hingga kini, yaitu dengan jawaban :
Allah beristiwa diatas Arsy itu mahsyur (semua orang tau), mengimani Allah beristiwa diatas Arsy itu wajib, bagaimana Allah beristiwa itu majhul (tidak ada yang tau), menanyakannya adalah bid’ah.
(Tersinggung, kaget, tidak percaya luar biasa Imam Malik dengan pertanyaan semacam ini, dimana pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan bid’ah, pertanyaan yang haram, mempertanyakan yang bahkan Sahabat tidak pernah bertanya. Jika memang ini perlu ditanyakan atau perlu dijelaskan, tentu Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang pertama akan menjelaskan hal ini, sebelum bahkan ini perlu ditanyakan Para Sahabat. Ada yang perlu kita ketahui, dan pasti Nabi akan ajarkan, akan beritahukan, adapula yang cukup kita imani, tanpa mempertanyakannya)
Kemudian Imam Malik mengusir orang ini dari Majelis ilmu beliau. Imam Malik yang kala itu Ulama sangat besar, yang keilmuannya sungguh disegani, berhasil menjaga pemahaman sunnah ini dan menjadikan sunnah tetap besar kala itu, dan pemahaman pemahaman bid’ah kecil dan semakin mengecil.
Ini berbeda dengan zaman kita, dimana sunnah yang haq demikian ini kecil, minoritas, terpinggirkan, sedangkan bid’ah sekarang meraja lela, mayoritas.
Betapa banyak sekarang orang bertanya tanpa ilmu, bertanya kepada orang yang tidak berilmu, dan orang itu menjawab / menjelaskan tanpa ilmu. Dia bertanya yang tidak perlu ditanya, tidak boleh ditanya, haram ditanyakan, dan orang lain menjawab yang tidak perlu dijawab, tidak boleh dijawab, haram dijawab.
********
Hati-hati, terlebih pada zaman ini, hati-hati mempertanyakan perihal syariat didalam agama ini, ada yang bisa ditanyakan, ada yang cukup perlu diimani, ada pula tata caranya dalam bertanya, ada pula pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Jika kita tidak mengerti agama ini, dan mau bertanya, jangan bertanya tanpa ilmu, serampangan, dan jangan juga menjawab tanpa ilmu, cukuplah jangan membuat pemahaman baru, pernyataan baru, jawaban baru. Cukupkan dengan melihat bagaimana Sahabat yang dijamin Surga dalam bertanya, apa-apa yang mereka tanyakan, dan apa-apa yang mereka cukup imani, jika mereka Para Sahabat tidak pernah menanyakan suatu perihal dalam agama ini kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam, maka kitapun tidak perlu mempertanyakannya, meragukannya, atau masih merasa kurang dengan apa yang telah disyariatkan.
..Wallahu a’lam..