عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. رواه البخاري
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘*Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’*
Al-Bukhari (no. 3483, 3484, 6120), Ahmad (IV/121, 122, V/273), Abu Dawud (no. 4797), Ibnu Majah (no. 4183), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 2332), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ (IV/411, VIII/129), al-Baihaqi (X/192), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3597), ath-Thayalisi (no. 655), dan Ibnu Hibban (no. 606-at-Ta’lîqatul Hisan)
Yang akan saya sampaikan pada kesempatan kali ini bukanlah keseluruhan takhrij, bukan menyampaikan cara metode takhrij dalam memahami Hadits. Melainkan maksud dari wahyu tentang “malu” pada hadits tersebut yaitu :
Wahyu (tentang malu) ini bukan datang melalui Jibril, karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya diatas, ada 4 cara lain dari total 5 cara, bagaimana wahyu itu disampaikan ke para Nabi dan Rasul.
Wahyu (tentang malu) ini bukan hanya wahyu Allah kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, dimana para Nabi dan Rasul lain (Adam, Ibrahim, Ismail, dan lainnya alaihis shalatu wassalam) juga mendapati wahyu ini, dan mereka semua memiliki rasa malu ini.
Malu, adalah sebuah kebaikan dan memiliki keutamaan, dimana memiliki rasa malu tidak akan mendatangkan (hal buruk) kecuali kebaikan.
Malu, adalah kebaikan secara menyeluruh, maksudnya tiada kebaikan yang sampai pada level sempurna kecuali kebaikan itu dilengkapkan dengan rasa malu. Kemudian tanpa berbuat kebaikan apapun, memiliki rasa malu sudah merupakan satu buah kebaikan.
Malu, adalah akhlak para Nabi dan Rasul, dimana hal ini (adalah ajakan agar) bisa kita tiru, kita yang manusia biasa, bisa memiliki akhlak sebagaimana para Nabi dan Rasul jika kita memiliki rasa malu.
Malu, adalah salah satu cabang keimanan, dimana yang paling tinggi adalah tauhid, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan (batu/dahan), dimana ini berlaku mahfum mukalafah, berarti jika tidak (memiliki rasa) malu maka tidak termasuk beriman. Disini dimaksud bahwa Iman manusia terkadang naik dan turun, menebal dan menipis, ketika seseorang tidak malu, maka (terancam lah) dia sedang/akan kehilangan keimanannya, adapun dia memiliki rasa malu, maka itu termasuk dari keimanan.
Malu, adalah akhlak yang dicintai Allah, jika kita mau dicintai oleh Allah maka rasa malu adalah sesuatu perkara yang harus kita miliki, Allah juga punya rasa pemalu, bahkan Allah Maha Pemalu, (Maha Menutupi) tentu malu Allah tidak sama kadar/levelnya dengan malu-nya manusia. Betapa banyak Allah menutupi kekurangan kita, aib kita, disebutkan dalam sebuah riwayat, jika seandainya aib ini ibarat luka atau memiliki bau, maka kedua orang yang duduk tidak akan mau duduk berdampingan, karena begitu banyaknya aib, dan kekurangan yang Allah tutupi untuk kita. Sebaliknya disini maksudnya adalah tidak boleh bagi kita untuk membuka buka aib sendiri, maupun aib orang lain, dimana Allah menutupi Aib itu. Diriwayat lain disebutkan bahwa jika seseorang mandi, maka hendaknya dia menutup diri (menutup pintu kamar mandi), juga menutup aurat tubuh, dan sebagainya, bukan malah mempertontonkan aib atau aurat tubuh kita.
Malu, adalah akhlak para Malaikat, dimana kita bisa memiliki akhlak Malaikat dengan memiliki rasa malu. Disebutkan bahwa para Malaikat malu ketika berhadapan dengan Utsman. Betapa mulianya Utsman dimana Malaikat yang derajatnya kemuliaannya setinggi itu, kesuciannya, namun malu terhadap Utsman, ini pujian Nabi yang luar biasa kepada Utsman, dimana Utsman adalah manusia, dan manusia bisa memiliki rasa malu yang bahkan bisa disegani oleh para Malaikat.
Malu, akan mencegah dari kemaksiatan. Bahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam membiarkan seseorang untuk malu, “biarkan (sifat pemalunya) karena malu mencegah dari kemaksiatan”. Sebaliknya betapa banyak kemaksiatan muncul karena tidak adanya rasa malu.
Malu dan Iman berjalan seiring sejalan, ketika hilang salah satu maka tercabutlah keduanya. Seseorang yang tidak malu maka secara bersamaan hilanglah imannya, seseorang yang hilang imannya, maka tercabutlah malu dari dirinya.
Malu, (adalah salah satu jalan yang) akan mengantarkan seseorang ke Surga. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Malu itu adalah bagian dari Iman, dan Iman itu bertempat tinggal di Surga. Rasa malu dan tindakan-tindakan setelahnya bisa menjadi salah satu sebab kita masuk kedalam Surga.
Malu, adalah warisan para Nabi dan Rasul, maka dalam memahami warisan, tidak selalu warisan itu dipahami dalam bentuk harta atau benda, melainkan wariskanlah kepada anak-anak kita, ilmu, Al Quran, As Sunnah, dan (didik) wariskanlah (juga) kepada mereka rasa malu.
Malu memiliki buah, dan buahnya bernama kehormatan. Tidaklah seseorang yang memiliki rasa malu mendapati buahnya (manfaatnya) yaitu kehormatan. Betapa orang-orang yang kita hormati di dunia, salah satunya dikarenakan mereka menutup aibnya, menutupi kekurangannya, dan betapa orang-orang yang di akhirat masuk Surga, adalah orang-orang yang terhormat.
Malu ada dua, yaitu malu yang merupakan watak bawaan, atau yang timbul karena didahului usaha. Sebagian Ulama menjelaskan bahwa malu yang dimiliki para Malaikat, para Nabi dan Rasul adalah watak bawaan, adapun Malu yang dimiliki Utsman (manusia) adalah malu yang timbul karena usaha.
Malu juga ada dua, malu yang terpuji dan malu yang tercela, dimana malu yang tercela adalah malu yang daripadanya timbul kesia-siaan atas hak. Malu untuk ikhtiar, malu untuk bekerja yang halal, malu promosi dalam pekerjaan padahal mampu karena tidak enakan, malu karena miskin sehingga (bohong) pura-pura kaya, malu tidak punya mobil/rumah sehingga kredit riba (haram), malu bertanya hingga tersesat jalan, malu belajar tahsin, malu berangkat kajian sehingga tetap dalam kebodohan dan sebagainya. Terhadap malu yang demikian kita waspada dan berhati-hati, dan malu yang demikianlah yang seharusnya tidak ada pada diri kita.
Tentu masih banyak lagi, namun kurang lebihnya saya cukupkan dengan yang sedikit ini agar mudah untuk dimengerti.
..Wallahu a’lam..