Kita tidak menggunakan istilah “kepuasaan” untuk orang yang berpuasa. Kenapa? Karena ada alasan dibalik itu, ada penjelasan dibalik itu.
Ada pembahasan terkait hal ini, dimana :
“Kepanasan” tak sama dengan panas
“Kedingingan” tak sama dengan dingin
“Kesiangan” tak sama dengan siang
“Kemalaman” tak sama dengan malam
“Kesetanan” tak sama dengan setan
Demikian pula :
“Ketuhanan” tidak sama dengan “Tuhan”.
Ada orang membabi buta, marah marah, ngamuk ngamuk, emosional, dan dia disebut “kesetanan”. Dia merusak, atau merugikan orang maka sifat merusak dan merugikan orang lain disebut “kesetanan”, bukan setan.
Orang yang baik, melakukan kebaikan, berperilaku mulia dan memberi manfaat, dikatakan karena dia mencerminkan prinsip prinsip “ketuhanan” dalam hidupnya.
Orang yang baik, bisa saja tidak “bertuhan”, namun ketika dia mencerminkan ajaran ajaran (kebaikan) Tuhan, namun dia “Ketuhanan”.
Orang yang baik, mulia, jujur, adil, dan semua sikap atau sifat positif dan lainnya maka dia sedang mencerminkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, Esa yaitu mencerminkan “Ketuhanan” yang sesungguhnya, yang penuh, dan yang utuh. Bukan Ketuhanan yang satu, karena kalau satu itu “Eka” bukan “Esa”.
Orang yang baik, mulia, jujur, adil, dan semua sikap atau sifat positif lainnya, maka dia sedang mencerminkan “Ketuhanan”, walau bisa jadi dia tidak “bertuhan”.
Sebagaimana banyak orang yang baik, namun dia syirik, musyrik, fasik, yahudi, nasrani, hindu, budha, kafir, agnostik, atheis. Dia baik, mulia, terpuji, mencerminkan “Ketuhanan yang Maha Esa”, namun bukan berarti dia “Bertuhan Yang Maha Eka” (Bertauhid).
Jadi, “Ketuhanan” bukan tentang Tuhan. “Ketuhanan” bukan berarti bertuhan, “Ketuhanan” juga tidak sama dengan Tuhan.
“Ketuhanan” adalah kebaikan, budi pekerti, nilai mulia, sikap terpuji, dan semua sikap dan sifat itu melekat tidak terpisah satu dengan lainnya, maka itu “Esa”, alias “Ketuhanan Yang Maha Esa” (penuh, utuh).
Jadi, “Ketuhanan” bukan tentang Tuhan. “Ketuhanan” bukan berarti bertuhan, “Ketuhanan” juga tidak sama dengan Tuhan.
Adapun memiliki Tuhan, dan dia meyakini dengan benar, dan menggunakan keyakinannya dalam kehidupannya, maka itu “Eka”, atau satu, atau keyakinan yang satu. Alias “Bertuhan Yang Maha Eka” (Bertauhid).
Begitu banyak diantara kita yang “Ketuhanan” padahal dia tidak (belum tentu) “bertuhan”.
Begitu juga dengan puasa, kebanyakan dari kita mencerminkan “kepuasaan” bukan “berpuasa”.
“Kepuasaan” tidak sama dengan puasa.
Banyak dari kita yang terlalu sibuk dalam menahan lapar dan haus, puasanya mau sahur apa, mau buka apa, mau melakukan apa, mendadak pakai baju koko, baju muslim, mendadak peci, jenggotan. telalu sibuk dengan ritual dan seremonial, munggahan, ziarah kubur, bukber, shalat subuh di masjid (karena sekalian sahur), tarawih kilat, perayaan nuzulul quran, kultum, ceramah tarawih, baju baru, ketupat, opor, angpao, salam tempel, mudik, silaturahmi, dll. Ada pula sangat sibuk gerebek diskotik, sibuk gerebek warteg buka disiang hari, tersinggung jika ada Mall / Cafe / Restoran yang buka di siang hari, terlalu sibuk “ngurusin orang”, ( “puasa gak?”, “udah batal belum?”). Dimana ini sejatinya mencerminkan “kepuasaan” dan bukan berarti orang ini sedang puasa, karena “kepuasaan” tidak sama dengan puasa.
Banyak orang yang menahan lapar dan haus, orang diet, orang nasrani, hindu, budha, orang kejawen, orang syirik, dll juga ada yang melakukan aktivitas menahan lapar dan haus, namun ini bukanlah puasa yang dimaksud.
Banyak orang mondar mandir rumah dan masjid, banyak orang berdiri, bungkuk bungkuk, ruku, sujud, berdiri lagi bolak balik, mereka rutin shalat berjamaah di Masjid, berpeci, bersarung, mereka tambah dengan qunut subuh (misal), mereka tambah dengan alhamdulillah, salam salaman, zikir zikir berjamaah, tambah dengan yasinan, bahkan sampai dia buat kuburan di masjid, dimana mereka ini sebenarnya “kesholatan” bukan sedang melakukan shalat.
Ketuhanan bukan berarti “Tuhan”
Kepuasaan bukan berarti “Puasa”
Keshalatan bukan berarti “Shalat”
Karena memahami apa itu Tuhan, maka dia bertauhid, memahami apa itu tauhid, dan segala pemahaman dan perilakunya mencerminkan dia mengerti apa itu Tuhan.
Karena memahami puasa, maka segala pemahaman itu akan mengarah kepada perilaku yang mencerminkan apa itu puasa.
Karena memahami shalat, maka segala pemahaman itu, akan mengarah kepada perilaku yang mencerminkan apa itu shalat.
Seseorang yang bersarung, peci, bolak balik rumah masjid, ruku sujud bungkuk bungkuk, menahan lapar, haus, sibuk dengan segala kelakuan perbuatan baik terpuji dan mulia, belum tentu dia memahami apa itu shalat, puasa, dan Tuhan, melainkan keshalatan, kepuasaan, ketuhanan.
Adapun seseorang yang benar paham shalat, benar paham apa itu puasa, benar paham apa itu “Tuhan” ( Allah Azza Wa Jalla ), maka dia shalat, dia berpuasa, dan “Bertuhan yang maka Eka.
Inilah sebab banyak Kaum Muslimin yang bodoh, tidak tau, tidak mengerti, tidak paham, terhadap Islam itu sendiri. Karena mereka ikut menganut kepada pemahaman “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tetapi bukan “Bertuhan Yang Maha Eka” (Bertauhid).
Dari sini kita paham, kenapa banyak orang orang yang bisa saja dia mencerminkan sifat atau sikap “Ketuhanan”, padahal bisa jadi orang orang ini sebenarnya tidak “Bertuhan”.
..Wallahu a’lam..