...

Kaidah Fiqh Bab 2

Fiqh - 1 year ago - Tag : Fiqh
Author : Abu Khai

Kaidah Fiqh Bab 2 : Hukum Wasilah Tergantung Pada Tujuan-Tujuannya

 

Beberapa hal yang masuk dalam kaidah ini, di antaranya ialah bahwasanya perkara wajib yang tidak bisa sempurna (pelaksanaannya) kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut hukumnya wajib pula. Dan perkara sunnah yang tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut sunnah juga hukumnya. Demikian pula, sarana-sarana yang mengantarkan kepada perkara yang haram atau mengantarkan kepada perkara yang makruh, maka hukumnya mengikuti perkara yang haram atau makruh tersebut.

 

Pengertian الوَسِيْلَةُ (wasîlah) yaitu jalan-jalan (upaya, cara) yang ditempuh menuju (perwujudan) suatu perkara tertentu, dan faktor-faktor yang mengantarkan kepadanya. Demikian pula, hal-hal lain yang berkait dan lawaazim (konsekuensi-konsekuensi) yang keberadaannya mengharuskan keberadaan perkara tersebut, serta syarat-syarat yang tergantung hukum-hukum pada sesuatu tersebut.

 

Jadi, apabila Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu, maka itu berarti sebuah perintah untuk melaksanakan obyek yang diperintahkan, dan hal-hal terkait yang menyebabkan perintah tersebut tidak sempurna kecuali dengan hal-hal tersebut. Demikian pula, perintah tersebut juga mencakup perintah untuk memenuhi semua syarat-syarat dalam syari’at, syarat-syarat dalam adat, yang maknawi ataupun kasat mata. Hal ini dikarenakan Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Memiliki Hikmah, mengetahui apa yang menjadi pengaruh-pengaruh yang muncul dari hukum-hukum yang Ia Subhanahu wa Ta’ala syariatkan bagi hamba-Nya berupa lawaazim, syarat-syarat, dan faktor-faktor penyempurna. Sehingga, perintah untuk mengerjakan sesuatu bermakna merupakan perintah untuk obyek yang diperintahkan tersebut, dan juga perintah untuk mengerjakan hal-hal yang tidaklah bisa sempurna perkara yang diperintahkan tersebut kecuali dengannya. Dan (sebaliknya) larangan dari mengerjakan sesuatu merupakan larangan dari hal tersebut dan larangan dari segala sesuatu yang mengantarkan kepada larangan tersebut.

 

Atas dasar keterangan di atas, berjalan untuk melaksanakan shalat, menghadiri majlis dzikir, silaturahim, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, dan lain-lain masuk dalam kategori ibadah juga. Demikian pula orang yang pergi untuk melaksanakan haji dan umroh, serta jihad fi sabilillah (di jalan Allah l ), sejak keluar dari rumah sampai pulang kembali, maka orang tersebut senantiasa dalam pelaksanaan ibadah. Karena keluarnya (orang tersebut dari rumah) merupakan wasilah (cara) untuk melaksanakan ibadah dan menjadi penyempurnanya.

 

Allah Azza wa Jalla berfirman :

Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal shalih pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

[📚 QS : At-Taubah/9:120-121].

 

 

Dalam hadits yang shahîh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memperjalankannya atau memudahkan jalan beginya menuju ke surga.

[📚 HR Muslim]

 

Sungguh terdapat hadits shahîh yang menjelaskan tentang pahala berjalan untuk melaksanakan sholat, dan setiap langkah yang ditempuh dalam perjalanan tersebut ditulis baginya satu kebaikan dan dihapuskan satu kejelekan.

 

Wallahu A'lam