...

Hutang (Piutang)

Artikel - 1 year ago - Tag : Artikel
Author : Abdullah Abdurrahman

Banyak orang keliru beranggapan bahwa hutang piutang sebagai muamalah, atau perkara dunia, padahal bukan.

 

Berbeda dengan jual beli, ini adalah muamalah, perkara dunia, silahkan ada perhitungan untung dan rugi. Sedangkan hutang piutang, atau pinjam meminjam, ini adalah tolong menolong, atau perkara ibadah, maka tidak boleh ada untung rugi didalamnya.

 

1. Tidak boleh mengambil untung*

2. Tidak boleh merasa rugi*

 

*) Bagi kedua belah pihak, karena ini perkara tolong menolong, bukan perkara bisnis.

 

*************************

 

Seseorang yang benar sejatinya bertauhid, seseorang yang mempelajari dan mengerti benar Al Quran dan Sunnah, terkait tolong menolong dia tidak akan menghindar, takut, pelit, kikir, menghitung untung rugi, dan lainnya, melainkan dia akan bersyukur.

 

Karena, diantara semua nama, orang itu memilih nama kita untuk menyelesaikan / meringankan permasalahannya. Nama kita yang dipilih untuk menolongnya dengan apa yang kita punya. Nama kita yang dipilih Allah untuk berpotensi berpahala, tanpa kita kehilangan apapun, (karena sejatinya yang ada pada kita adalah kepemilikan Allah).

 

*************************

 

Masih kita dapati banyak kekeliruan dalam memahami perihal ini pada sebagian besar saudara-saudara kita Kaum Muslimin. Karena tipisnya tauhid mereka, kurang percaya dan kurang yakin terhadap Al Quran dan As Sunnah. Dikepala mereka masih dihuni oleh Paradox.

 

Kalau saya minjam, malu

Kalau saya minjam, jadi aib

Kalau saya minjam, nanti jadi omongan

Daripada malu, saya minjam pinjol

Daripada malu, saya minjam bank

Katanya  minjam, taunya nipu

Katanya minjam, tetapi tidak mengembalikan

 

Kalau saya pinjami, harta saya minus.

Kalau saya pinjami, istri saya gimana.

Kalau saya pinjami, anak saya gimana.

Kalau saya pinjami, itu uang Umroh saya.

Kalau saya pinjami, nanti susah nagihnya

Kalau saya pinjami, nanti tidak dikembalikan

 

*************************

 

Padahal, sebagai Muslim harusnya kita bersyukur, ketika sedang bermasalah, sedang kesulitan, karena agama ini telah mengatur perihal tolong menolong, hutang piutang, bukan merasa malu.

 

Padahal, sebagai Muslim seharusnya kita paham bahwa ini hutang piutang, pinjam meminjam, tolong menolong adalah hal yang mulia.

 

Padahal, sebagai Muslim kita tidak perlu malu, ketika menolong atau meminta tolong kepada sesama saudara Kaum Muslimin. Justru terlibat nyolong, penipuan, perampokan, riba, inilah yang seharusnya kita merasa malu.

 

Padahal, sebagai Muslim yang sedang kesulitan semestinya tidak terjebak riba. Seharusnya kita yang mampu menolong/menyelamatkan saudara kita dari pinjaman hutang riba.

 

Padahal, perihal hutang itu ibadah, dan amanah, bukan alat untuk menipu, menzalimi orang lain yang menolong kita. Padahal menzalimi orang yang menolong kita, akan dibayar kelak di padang mahsyar.

 

Padahal, tidak akan minus harta seseorang yang menolong, meminjamkan, menghutangkan, karena sejatinya dia menolong karena hartanya surplus, dan setelah dipakai menolong hartanya tetap plus (mungkin berkurang), bukan minus.

 

Padahal, seorang Muslim sejatinya ikut perintah dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, (wajib menolong ketika ada yang meminta tolong, jika mampu). Bukan ikut petunjuk istrinya.

 

Padahal, ketika dia menolak untuk menolong, karena ini tabungan untuk Umroh, dia tidak paham, bahwa menolong itu wajib, sedangkan Umroh itu sunat. Apa esensi dia jauh-jauh safar ke Arab, ketika ada kesempatan berpahala di dekatnya namun dia tolak, orang ini terkena paradox, logical fallacy, sesungguhnya esensi dia Umroh bukanlah ibadah, melainkan menganggap hanya ritual jalan-jalan.

 

Padahal, dia tidak memahami, banyak orang pergi Haji atau Umroh namun tidak Allah terima, sedangkan banyak orang “gagal” Haji dan Umroh, namun dia sudah sejatinya mendapatkan pahala Haji atau Umroh itu. 

 

Padahal piutang semakin ditagih, semakin tidak dibayar karena inilah pola dan pattern dalam kehidupan, semakin dikejar semakin tidak dapat.

 

Padahal jika kita bertauhid, maka kita yakin orang itu akan bayar hutangnya, atau jika sengaja tidak membayar, jika dia menzalimi kita, toh kelak dia akan bayar di Padang Mahsyar. Kita yakin orang itu pasti belum sanggup, masih kesulitan, masih belum punya kemampuan sehingga misal belum membayar.

 

Padahal jika dilihat, hidup kita lebih aman dan nyaman ketika kita mengikhlaskan, melepaskan, dibanding orang yang berhutang (kesulitan) itu. Dimana ketika dia sibuk menuntut orang yang tidak mampu, hidupnya yang nyaman, malah menjadi tidak nyaman (kita yang malah merasa sulit).

 

Padahal jika dilihat, kita yang memberi bantuan, kita yang menolong, hidup kitapun ternyata ditolong Allah. Diberikan limpahan rizki lain yang lebih besar dari Allah, tidak kekurangan, bahkan berlebih, bisa kesehatan, bisa hidayah, bisa bonus tahunan, bisa naik gaji, promosi, laba bisnis, mobil baru, rumah baru, “Alam Semesta” yang bekerja, Allah langsung yang menggantinya untuk kita, bahkan sebelum orang itu menggantinya. 

 

*************************

 

Semakin kita berpasrah (dengan definisi pasrah yang sebenarnya) semakin banyak kebaikan (keajaiban) yang terjadi kepada kita.

 

Semakin kita tidak berniat apa-apa, semakin kita tulus, semakin kita ikhlas, semakin kita tidak berekspektasi (hanya kepada Allah), justru itulah asbab Allah memberikannya kepada kita.

 

Dimana, kalau kita berniat / berharap apapun selain karena karena Allah, berharap untung rugi (dalam ibadah) maka Allah tidak suka, justru Allah sempitkan hati kita, rezeki kita. Adapun kita berniat, berharap, meminta, asbab karena Allah saja, maka Allah akan berikan kepada kita, Allah akan mengganti kita dengan yang jauh lebih baik.

 

Dengan kita Kaum Muslimin memahami ini bisa sangat mendapat jawaban atas semua pertanyaan, tidak ada perkara yang tidak ada jawabannya (tidak ada perkara yang Paradox), karena semakin kita melepaskan, semakin kita mendapatkan ketenangan, dan justru Allah memberikan apa yang kita inginkan.

 

*************************

 

Setelah kita memahami Paradox pada bahasan sebelumnya, Sebagai Muslim yang bertauhid, yang memahami Al Quran dan As Sunnah, sejatinya kita mengerti dan tidak lagi bingung perkara hutang piutang. Karena ini perihal ibadah, tolong menolong, bukan muamalah, bukan untung rugi.

 

Tentu masih bisa panjang dan lebar lagi tulisan ini, hutang harus dibayar, memberi kabar ketika belum bisa melunasi, meyakini harta kita adalah bukan miliki kita melainkan milik Allah. Tidak pelit, kikir, rakus akan harta yang hanyalah titipan. Meminta kepada Allah dan manusia sebagai jalan ikhtiar, dll. Namun dengan yang sedikit ini semoga dicukupkan untuk dipahami.

 

Orang yang benar bertauhid, beraqidah, tebal keimanannya, yang benar belajar dan mengerti Al Quran dan As Sunnah akan mudah memahami tulisan ini. Adapun sulit memahami tulisan ini, maka tanya lagi diri kita, apakah benar kita bertauhid? apakah benar kita mengikuti Al Quran dan As Sunnah? 


 

..Wallahu a’lam..