Pembahasan sebelumnya (Schrodinger Cat) adalah tentang bagaimana kita mendefinisikan anggapan kucing memiliki 9 nyawa, banyak nyawa, kemudian mampu membedahnya secara akademis, membahas bagaimana cara kita (seharusnya) cara berpikir, berpola pikir, yaitu filsafat, runtut, sistematis, teratur, pemikiran didalam kepala yang bukan asumsi, namun merupakan argumentasi logis, hipotesis yang diteliti, disertakan kelengkapan hasil percobaan, rumus, bukti dan fakta, dan dimana buah pikir berubah bentuk menjadi buah karya.
Dimana cara berfikir (filsafat) seperti ini (dalam rangka dunia) pertama kali didapati dimaksimalkan dilakukan bukan oleh penemu ilmu filsafat itu sendiri (bukan orang orang Romawi), namun malah oleh para akademisi Islam pada zaman zaman kejayaan Islam, salah satunya yaitu Ibnu Al Khatam 945-1040M. (Bapak Filsafat Islam), tokoh era keemasan Islam. dan cara berfikir inilah yang diikuti oleh Galileo Galilei, Johannes Kepler, sampai Leonardo Da Vinci, Isaac Newton, belakangan sampai ke era Albert Einstein, Stephen Hawking, yang melahirkan output hukum gravitasi, sistem tata surya, ilmu astronomi, ilmu aritmatika, algoritma, mesin uap, bola lampu, nuklir, optik, kamera, fiber optik, internet, blockchain, kecerdasan buatan (AI), dll.
Dimana untuk urusan dunia, silahkan bahkan kita harusnya berpikir, memahami, dengan akademis, runtut, sistematis, logis, membedahnya dengan detail, yang outputnya teknologi dan peradaban yang luar biasa bagi umat manusia. Namun JANGAN pergunakan ilmu ini dalam rangka agama, karena hasilnya adalah kerusakan bagi Islam itu sendiri, sebagaimana betapa kelirunya seseorang yang belajar dan memahami filsafat namun dipergunakannya dalam rangka islam malah bukan menghasilkan kemajuan islam, kejayaan islam, melainkan kemunduran, kehancuran, dan sebab perpecahan dan kesesatan dalam Islam itu sendiri, semisal Sufi, Falasifah, Kalam, Mutazilah, Liberal, dll.
Filsafat adalah alat ✔️
Filsafat bukan masuk menjadi Aqidah ❌
*************************
Dari pembahasan ini, kita tau betapa keliru dan mundurnya cara berpikir kita dibandingkan tokoh tokoh akademis akademis islam pada era keemasan islam terdahulu, yang berpikir, berpola pikir, runtut, sistematis, argumentasi logis. Didapati dalam sebuah jurnal kita hanya menggunakan 4-14% dari kemampuan otak dan pikiran yang Allah anugerahkan kepada kita, dimana sisanya kita menggunakan “dengkul” dan *perasaan* dalam berpikir, dalam memahami sesuatu (asumsi).
Dari pembahasan ini, kita tau kenapa ada dua dimensi, ada dua dunia, ada “multiverse” dalam memahami agama ini, pemahaman agama yang Haq(+), dan yang Jahil(-). Karena sebagaimana “rumus persamaan schrodinger” diatas, jika terganggu dengan sedikit saja pengaruh (syubhat), atau gangguan lain, maka kita tidak lagi dalam keadaan superposisi, atau dekoherensi. Itulah kenapa sebagian dari kita memahami Islam di “multiverse A”, sebagian dari kita yang lain di “mutiverse B”. Dimana diantara dua “multiverse” yang berbeda ini, dua dunia yang berbeda, satu sama lain “tidak bisa” berkomunikasi, tidak tersambung, “tidak nyambung”.
Maka bersyukurlah kita, jika seandainya kita berada di “universe” yang haq, yang dimana ada Rasul dan Para Sahabat disitu, ada Para Salaf, Akademis Akademis Generasi Islam terdahulu. Bukan di “universe” yang keliru. Dimana pada kapabilitas ilmu filsafat berfikir yang sama, banyak yang tersesat, di “universe” antah berantah, universe lain. Tidak berada di “universe” yang haq, tidak mampu dia melihat, berfikir, dan memahami agama ini dengan benar, tidak “superposisi”, tidak presisi, dan malah ter dekoherensi.
..Wallahu a’lam..