Seorang manusia tidak lepas dari dua keadaan yaitu nikmat yang wajib disyukurinya dan dosa yang menuntutnya untuk bertaubat.
Seorang manusia tidak lepas dari nikmat yang Allah berikan untuknya, tetapi sebagian besar dari mereka tidak bersyukur, tidak pula lepas mereka dari dosa, baik kepada sesama manusia maupun kepada Allah. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka tidak bertaubat.
Karena atas sebab 2 (dua) hal inilah, maka berdatangan masalah demi masalah di hidup manusia, Allah tegur kita dengan banyak permasalahan hidup.
Jika hidupmu sedang banyak masalah, resah gelisah, gundah gulana, galau, maka beristighfarlah. Ini yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau mengatakan “Sesungguhnya aku (terkadang) merasakan kegalauan di dalam hatiku, dan sungguh aku beristighfar kepada Allah dalam satu hari seratus kali”. (Muslim).
“Ya Allah ampunilah aku, dan berilah taubatmu kepadaku sesungguhnya Engkau Maha Memberi taubat dan Maha Penyayang”. (Abu Dawud).
Beliau, seseorang Nabi, seorang Rasul, seseorang yang ma’sum, menauladankan untuk senantiasa beristighfar dengan lafadz yang banyak. Pada satu riwayat sebanyak 100x dalam satu hari, dan sebanyak banyaknya tidak dihitung pada riwayat yang lain.
Kita saksikan betapa banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik. Dimulai dari nikmat nafas kita, nikmat menguap, nikmat makan, nikmat minum, nikmat bersin, nikmat buang air, nikmat sehat, nikmat hubungan suami istri, nikmat pernikahan, nikmat memiliki dan melihat anak tumbuh besar. nikmat negara yang aman, nikmat pekerjaan, nikmat rezeki, nikmat iman, nikmat islam, nikmat hidayah, nikmat hidayah sunnah, nikmat tauhid, nikmat ilmu, nikmat memiliki teman teman yang shalih, dan lainnya, namun kita tidak bersyukur.
Kita saksikan, betapa banyak dosa yang kita lakukan baik kepada sesama manusia ataupun kepada Allah, setiap hari, setiap waktu. Kita kurang adab kepada orang tua atau guru, kita sibuk menghadap kepada dunia, sampai memunggungi akhirat, kita lalai terhadap kewajiban kita kepada Allah, kita lalai terhadap kewajiban kita kepada istri, keluarga, kita lalai terhadap guru guru, kita lalai terhadap Allah dan Rasulnya, kita lalai terhadap orang orang disekitar kita, dan lainnya.
Orang-orang yang “cerdas” yaitu ini ada pada diri Rasul shallallahu alaihi wasallam dan Para Sahabat (Salafush Shalih), mereka tau, paham, mengerti bahwa hidup ini tidak lepas dari luar biasa banyaknya nikmat yang senantiasa wajib dia syukuri, dan luar biasa banyaknya dosa yang menuntut taubat darinya.
Orang-orang “bodoh”, yaitu ada pada diri kebanyakan dari kita, tidak tau, tidak paham, tidak mengerti akan hal ini, atas segala nikmat yang ada didirinya dia tidak bersyukur, dan atas segala dosa dosa yang mereka perbuat mereka tidak bertaubat.
Orang orang yang “cerdas” dia tau, paham, dan mengerti betapa banyak nikmat pada dirinya, dan bagaimana mensyukurinya, betapa banyak dosa pada dirinya dan bagaimana dia bertaubat.
Orang orang yang “bodoh”, dia tidak tau, tidak paham, tidak mengerti betapa banyak nikmat pada dirinya, betapa banyak dosa pada dirinya, tidak tau bagaimana bersyukur, tidak tau bagaimana bertaubat.
Orang-orang yang “cerdas” tau, atas nikmat yang ada pada dirinya dan dia bersyukur, atas nikmat sehatnya dia beribadah, atas nikmat ilmu dia beramal, atas nikmat rezeki dia bersedekah, atas istri yang baik, dia bertanggung jawab, dia setia, dia menjaga rumah tangganya, atas nikmat ilmu, islam, hidayah sunnah, dia istiqomah, dan lainnya. Tau, akan kekeliruannya, kesalahannya, kelalaiannya, dosa dosanya, dan dia bertaubat dengan taubat yang sangat banyak.
Orang orang yang “bodoh”, tidak tau atas nikmat pada dirinya, dia lalai mensyukuri kesehatannya dalam ibadah, dia lalai akan ilmu yang diberikan kepada dirinya, dia lalai akan rezeki pada dirinya, dia lalai pada keluarganya, ayahnya, ibunya, anaknya, orang tuanya, gurunya, dan lainnya. Tidak tau kekeliruannya, kesalahannya, kelalaianya, dosa-dosanya, dia tidak bertaubat dengan taubat yang banyak.
Analogi sederhana dari seseorang yang cerdas, diibaratkan seperti seseorang yang memiliki mobil dan sebagai bentuk kebersyukurannya dia akan merawatnya, memolesnya, mencucinya, servis berkala, mengendarainya dengan penuh kehati-hatian, tidak akan sembrono, ugal ugalan, atau menabrak orang lain / kendaraan lain, adapun dia tidak sengaja (accident) menabrak orang lain / kendaraan lain, dia tau kesalahannya, dia menyadari kesalahannya (representasi cerdas pikirannya), dia keluar dari mobil tersebut dan meminta maaf (representasi cerdas melalui kata katanya), dan dia mengobati orang yang terluka / memperbaiki kendaraan yang tertabrak (representasi cerdas perilakunya). Dia memahami nikmat dan cara mensyukurinya, dia memahami kesalahan dan cara bertaubat.
Analogi sederhana dari seseorang yang bodoh adalah sebaliknya, dia tidak bersyukur, dia tidak merawatnya, tidak memoles, dia tidak isi bensin, dia tidak mencucinya, ugal ugalan, seradak seruduk, tabrak sana sini dan lainnya. Adapun orang / kendaraan lain yang ditabraknya (accident), orang lain terluka, kendaraan lain rusak atas ulah kesalahannya, tetapi dia tidak menyadari kesalahannya (representasi kebodohan dari pikirannya), dia menyerang balik orang lain, menyalahkan orang lain, berargumen, berdebat, membela diri, defend, berbicara dengan nada tinggi (representasi kebodohan lewat kata katanya), dia tidak menyesal, tidak meminta maaf, tidak mau ganti rugi, tidak mau mengobati orang yang dilukainya, tidak mau bertanggung jawab memperbaiki apa yang dirusaknya (representasi kebodohan lewat perilakunya). Dia tidak memahami nikmat dan bagaimana cara mensyukuri nikmat, dia tidak memahami kesalahan, dan cara mengobati, memperbaiki, cara bertaubat.
Terhadap nikmat yang wajib disyukuri bukan sekedar kata kata “alhamdulillah”, melainkan memahami sebagaimana Rasul dan Para Sahabat, orang orang cerdas memahami ini. Dia memahami ini tercermin dari pikirannya, kata kata, dan dari perbuatannya atau perilakunya.
Terhadap dosa dosa kita yang wajib bertaubat, Bukanlah sekedar kata kata kata “maaf”, atau lafadz “astagfirullah”, melainkan memahami istighfar sebagaimana Rasul dan Para Sahabat, orang orang cerdas memahami ini. Dia memahami tercermin dari pikirannya, dari kata katanya, dan dari perbuatan atau perilakunya.
Jika hidup ini terasa bermasalah, banyak masalah, gelisah, resah, gundah gulana, galau, (accident) ada dua hal yang menjadi penyebabnya, yaitu : atas nikmat yang ada dia tidak bersyukur, dan atas dosa yang dilakukannya dia tidak bertaubat.
Senantiasa ucapkan “alhamdulillah”, atas segala nikmat yang banyak, pahami benar (dengan pikiran) segala macam nikmat yang ada pada diri kita dan bagaimana cara mensyukurinya (representasikan dengan tindakan), bukan hanya sekedar kata kata.
Senantiasa ucapkan “astaghfirullah” beristighfar dengan banyak, atas dosa dan kesalahan yang kita perbuat, pahami benar (dengan pikiran) segala kekeliruan, kelalaian, kesalahan yang kita lakukan, dan bagaimana cara bertaubat (representasikan dengan tindakan), bukan hanya sekedar dengan kata kata.
…Wallahu a’lam.